Agama Hancur Karena Ambisi Harta dan Kedudukan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi)

Dari putra Ka’b bin Malik dari ayahnya, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

“Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepaskan dalam sekawanan kambing lebih merusak terhadapnya daripada merusaknya ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan terhadap agamanya.” (Shahih, HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i,dan Ibnu Hibban.Lihat Shahih At-Targhib Wat Tarhib no. 1710)

Ibnu Rajab Al-Hambali berkata:

“Ini sebuah perumpamaan yang agung sekali.Nabi sebutkan sebagai perumpamaan rusaknya agama seorang muslim karena ambisinya terhadap harta dan kedudukan di dunia.Juga bahwa rusaknya agama karena hal tersebut tidak lebih ringan dari hancurnya sekawanan kambing karena serangan dua ekor serigala pemangsa yang lapar di malam hari saat penggembala tidak menjaganya. Kedua serigala itu memangsa kambing tersebut dan memakannya.Seperti diketahui,tidak akan ada yang selamat dari sergapan serigala tersebut dalam kondisi seperti ini kecuali sedikit.Nabi pun memberitakan bahwa ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan merusak agamanya di mana ini tidak lebih ringan dari perusakan serigala tersebut terhadap sekawanan kambing itu, bahkan mungkin sama atau lebih parah.Beliau ingin mengisyaratkan bahwa agama seorang muslim tidak akan selamat bila dia berambisi terhadap harta dan kedudukan di dunia ini kecuali sedikit (dari agamanya),sebagaimana kambing-kambing tersebut tidak selamat dari sergapan serigala melainkan sedikit.Dengan demikian,perumpamaan ini mengandung peringatan keras dari kejahatan ambisi terhadap harta dan kedudukan di dunia.

Ambisi terhadap harta ada dua macam:

Pertama,sangat cinta harta dan sangat berupaya mencarinya dari jalan-jalannya yang mubah serta berlebihan dalam mencarinya.Sangat serius dalam memperolehnya dari berbagai jalannya dengan getol dan bersusah payah.

Terdapat dalam sebagian riwayat bahwa sebab munculnya hadits ini adalah jatuhnya sebagian orang ke dalam jenis ini…
Bila dalam ambisi harta benda tidak ada efek kecuali sekadar menyia-nyiakan umur yang mulia yang (membuatnya) tidak berharga –padahal semestinya dapat ia gunakan untuk memperoleh derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal.Namun dia sia-siakan dengan ambisinya dalam mencari rezeki, yang (sebenarnya) telah Allah jamin dan Allah bagi-bagi. Padahal seseorang tidak mendapatkannya melainkan sesuai dengan apa yang telah Allah tentukan untuknya,lantas ia sendiri tidak memanfaatkannya bahkan meninggalkannya untuk orang lain, berpisah dengannya,tinggal perhitungannya ia tanggung sedang manfaatnya untuk orang lain– cukuplah ini sebagai cela bagi seorang yang ambisius.Seorang yang berambisi menyia-nyiakan waktunya yang mulia dan berspekulasi dengan dirinya…

Ibnu Mas’ud berkata:“Yakin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan mengakibatkan murka Allah l, dan engkau tidak iri kepada seorang pun karena rezeki yang Allah karuniakan kepadanya,engkau tidak mencela seorang pun atas apa yang Allah belum berikan kepadamu. Karena sesungguhnya rezeki Allah itu tidak dapat digiring oleh ambisi seseorang. Tidak pula dapat ditolak oleh kebencian seseorang.Sesungguhnya Allah dengan keadilan-Nya– menjadikan ketenangan dan kebahagiaannya pada keyakinan dan keridhaan. Allah juga menjadikan kegundahan dan kesedihannya pada keraguan dan kemarahan…

Kedua, ambisi terhadap harta lebih dari apa yang disebutkan pada macam yang pertama.Sehingga dia mencari harta dari jalan-jalan yang haram dan tidak menunaikan hak yang wajib. Ini termasuk syuh (ambisi) yang tercela.Allah berfirman:

“Dan siapa yang dipelihara dari syuh (kekikiran) dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Dalam Sunan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar dari Nabi:

اتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا

“Berhati-hatilah kalian dari syuh (ambisi), karena hal itu menghancurkan orang yang sebelum kalian.Memerintahkan mereka untuk memutus hubungan silaturrahmi, maka mereka memutusnya. Memerintahkan mereka untuk tidak berinfak, mereka pun tidak berinfak. Memerintahkan mereka untuk berbuat jahat, mereka pun berbuat jahat.”

Dalam Shahih Muslim dari Jabir,dari Nabi,beliau bersabda:

اتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

“Berhati-hatilah kalian dari syuh,karena hal itu telah membuat binasa orang-orang sebelum kalian, membuat mereka menumpahkan darah, dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan atas mereka.”

Sekelompok ulama mengatakan: “Syuh berarti ambisi besar yang membuat penyandangnya mengambil sesuatu yang tidak halal dan tidak mau menunaikan hak yang wajib. Hakikatnya adalah jiwanya sangat merindukan apa yang diharamkan Allah dan dia dilarang darinya,serta seseorang tidak merasa puas dengan apa yang Allah l halalkan berupa harta, kebutuhan nikahnya, ataupun selainnya.”

Sesungguhnya Allah telah halalkan untuk kita hal-hal yang baik dari makanan, minuman, atau pakaian, serta kebutuhan nikah.Allah haramkan memanfaatkan itu semua tanpa melalui jalurnya yang halal.Allah halalkan untuk memerangi orang-orang kafir yang memerangi serta menghalalkan harta mereka. Allah juga mengharamkan hal-hal yang jelek selain itu dari makanan,minuman, pakaian, dan kebutuhan nikah. Allah juga haramkan atas kita untuk menumpahkan darah tanpa alasan yang benar. Barangsiapa membatasi diri pada apa yang dihalalkan maka dia adalah seorang mukmin.Sedangkan barangsiapa yang melampaui (batas) kepada yang dilarang maka ini yang disebut syuh yang tercela,dan ini bertentangan dengan iman. Oleh karenanya, Nabi n memberitakan bahwa syuh itu memerintahkan kepada pemutusan hubungan silaturrahmi, kejahatan, dan kebakhilan. Kebakhilan itu sendiri bermakna seseorang menahan apa yang ada di tangannya (tidak mau menginfakkannya). Adapun syuh bermakna mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan cara yang zalim dan permusuhan, baik itu harta atau yang lainnya. Sampai-sampai disebut bahwa syuh itu merupakan pokok segala maksiat.

Dengan makna inilah,Ibnu Mas’ud dan ulama salaf yang lainnya menafsirkan kata syuh dan kebakhilan.Dari sinilah kita mengetahui makna hadits Abu Hurairah dari Nabi:

“Tidak akan berkumpul antara syuh dan iman dalam qalbu seorang mukmin.”

Juga hadits yang lain dari Nabi:

“Sebaik-baik iman adalah kesabaran dan samahah.”

Kesabaran tersebut ditafsirkan dengan sabar menahan diri dari hal-hal yang diharamkan. Sedangkan samahah di sini ditafsirkan dengan menunaikan kewajiban.

Terkadang kata syuh juga berarti kebakhilan atau sebaliknya. Akan tetapi pada asalnya adalah berbeda antara keduanya sesuai dengan yang kami sebutkan. Ketika ambisi kepada harta itu sampai kepada derajat semacam ini, maka dengan ini agama seseorang akan dengan nyata terkurangi. Karena ia tidak melaksanakan kewajiban dan melakukan yang haram, yang menyebabkan menurunnya agama seseorang tanpa diragukan sehingga tidak tersisa lagi kecuali sedikit. (Syarh Hadits Ma Dzi’bani Ja’i’ani)

sumber:http://asysyariah.com/agama-hancur-karena-ambisi-harta-dan-kedudukan.html

Mengapa Islam Memperingatkan Umatnya dari Bid’ah?

Berikut ini beberapa hal yang menyebabkan Islam sangat memperingatkan umatnya dari bid’ah:

1. Bid’ah merupakan penyebab terjadinya perpecahan umat

Tidaklah perpecahan dan perselisihan yang terjadi di umat ini melainkan disebabkan oleh kebid’ahan yang tersebar di tengah-tengah umat Islam. Allah berfirman,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)

Menurut sebagian salaf, di antaranya Mujahid bin Jabr rahimahullah, bahwa makna as-subul (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat. Sehingga maksud firman Allah “dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)” adalah janganlah kalian mengikuti kebid’ahan dan berbagai syubuhat.

2. Bid’ah adalah penyebab tertolaknya amalan

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ.

“Barangsiapa yang mengada-adakan (kebid’ahan) dalam urusan(agama) kami yang sebenarnya bukan bagian dari agama kami tersebut, maka ia akan tertolak.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari shahabat Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh,

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ.

“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang bukan bagian dari urusan agama kami, maka amalan tersebut akan tertolak.” (HR. Muslim)

3. Semua bentuk kebid’ahan adalah sesat

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة.

“Dan hati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini, karena sesungguhnya semua perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya dari shahabat Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu)

4. Pelaku bid’ah tidak diterima taubatnya , berbeda dengan pelaku maksiat yang lain, sehingga bid’ah pun lebih disukai iblis daripada maksiat

Yakni sangat sulit bagi pelaku bid’ah untuk bertaubat dari kebid’ahannya, berbeda dengan pelaku maksiat. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena bid’ah itu tidak akan diampuni, adapun maksiat akan diampuni.”

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa bid’ah tidak akan diampuni adalah firman Allah ta’ala,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا . الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا.

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi: 103-104)

Bagaimana pelaku bid’ah akan bertaubat sementara ia meyakini bahwa kebid’ahan yang ia perbuat itu merupakan kebaikan?

5. Pelaku bid’ah, pada hakekatnya telah menuduh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah khianat dalam menyampaikan risalah, ada beberapa risalah (ajaran) yang belum beliau sampaikan kepada umatnya.

Sungguh beliau telah sempurna dalam mengemban amanah risalah ini. Tidak ada satu kebaikan pun kecuali telah beliau ajarkan kepada umatnya, dan tidak ada satu kejelekan pun kecuali telah beliau peringatkan agar umatnya menjauhinya.

Barangsiapa yang berkata, beramal, atau berkeyakinan dengan sesuatu yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara ia menganggapnya suatu kebaikan, maka sungguh ia telah menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak amanah dalam menyampaikan risalah ini.

Wallahu a’lam bish shawab.

(Diambil secara ringkas dari catatan pelajaran Ushulus sunnah Al-Imam Ahmad bin Hanbal di Ma’had As-Salafy Jember, disampaikan oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh).

sumber :http://mahad-assalafy.com/2013/03/26/mengapa-islam-memperingatkan-umatnya-dari-bidah/#more-668

DAKWAH SALAF DAKWAH TAUHID

Sesungguhnya istilah salaf atau dak-wah salaf bukanlah istilah baru. Istilah ini sudah dikenal sejak masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah disinggung pada edisi perdana Risalah Dakwah ini. Yaitu ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah:

فَاتَّقِى اللهَ وَاصْبِرِيْ فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ. (رواه مسلم، فضائل فاطمة 2/245حديث 98

Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu. (HR. Muslim)

Para shahabatpun sering menggunakan istilah salaf untuk menyebutkan tentang mereka-mereka yang sudah mendahuluinya. Seperti ucapan Anas bin Malik -seorang sha-habat yang paling akhir meninggal. Tatkala beliau melihat kerusakan-kerusakan kaum muslimin ketika itu, beliau berkata: “Kalau saja ada seseorang dari kalangan salaf yang pertama dibangkitkan hari ini, maka dia tidak akan mengenali Islam sekarang sedikitpun kecuali shalat ini”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34)
Demikian pula para ulama sepeninggal beliau. Mereka pun sering menyebut istilah salaf untuk menerangkan bahwa jalan yang benar adalah jalan salaf, yakni jalannya para shahabat. Berkata Maimun bin Mahram meri-wayatkan dari ayahnya: “Kalau saja ada sese-orang dari kalangan salaf dibangkitkan di antara kalian niscaya dia tidak mengenali keislaman kecuali kiblat ini (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, juz 1 hal 34).

Oleh karena itu istilah salaf dikenal oleh para ulama untuk menunjukkan generasi per-tama dan utama dari umat ini seperti yang pernah diucapkan oleh Imam Bukhari, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan selainnya. Simaklah apa yang dinasehatkan oleh Abu Amr al-Auza’i: “Sabarkanlah dirimu di atas jalan sunnah. Berhentilah kamu di mana kaum itu berhenti. Ucapkanlah apa yang mereka ucap-kan. Tinggalkanlah apa yang telah mereka tinggalkan dan jalanilah jalan salafmu yang shalih.” Beliau juga berkata: “Wajib bagi kali-an untuk berpegang dengan jejak-jejak salaf walaupun manusia menolakmu. Dan hati-hatilah kalian dari pendapat-pendapat ma-nusia walaupun mereka mengindahkan uca-pannya untukmu.” Dan masih banyak ucapan ulama yang lainnya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita untuk tetap berpegang dengan sunnahnya dan sunnah para shahabatnya:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. (أخرجه الترمذي وحسنه الشيخ الألباني

Wajib atas kalian berpegang dengan sun-nahku dan sunnahnya para khulafaur Rasyi-din yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu. (HR. Tirmidzi dan diha-sankan oleh Al-Albani)

Dengan demikian dakwah salaf adalah dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Sedangkan dakwah beliau adalah dakwah yang menyeru manusia kepada tauhid serta tegak di atas sunnah Nabi-Nya. Dengan sendi-rinya dakwah ini tidak memberikan tempat bagi kemusyrikan dan kebid’ahan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. يوسف: 108

Katakanlah (Muhammad): “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku me-ngajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukan-lah termasuk orang-orang yang musyrik. (Yusuf: 108)

Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bah-wa Allah ta’ala telah memerintahkan nabi-Nya untuk menyatakan inilah dakwah dan jalan yang aku menyeru dan berpijak di atas-nya, yaitu menyeru manusia untuk ber-tauhid, dan beribadah hanya kepada-Nya semata, yang berujung pada ketaatan kepadaNya dan tidak bermaksiat kepadaNya. Aku dan orang-orang yag mengikutiku me-nyeru hanya kepada Allah dengan hujjah yang dibimbing di atas ilmu dan keyakinan.

Berkata imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy: “Dalam ayat ini terdapat beberapa faedah yang dapat kita ambil di antaranya:
1. Adanya peringatan untuk mengikhlaskan diri dalam beramal, karena kebanyakan da’i walaupun (seakan-akan) dia mendakwah-kan pada kebenaran, akan tetapi pada hake-katnya ia mendakwahkan kepada dirinya sendiri.
2. Memiliki بَصِيْرَةٍ “ilmu” adalah kewajiban bagi seorang da’i.
3. Termasuk dari bukti kebenaran tauhid ada-lah adanya pensucian bagi Allah ta’ala dari sifat-sifat tercela.
4. Termasuk dari bukti kejelekan syirik ialah bahwa syirik itu merupakan celaan bagi Allah ta’ala.
5. Seorang muslim tidak termasuk dari kaum musyrikin manakala ia tidak bergabung dengan kaum musyrikin walaupun tidak berbuat syirik.

Inilah perbedaan dakwah salaf dengan dakwah-dakwah lainnya yang memiliki kecen-derungan mengesampingkan tauhid dengan berbagai macam alasan.
Sebagian di antaranya menganggap tau-hid dan sunnah merupakan ilmu masa’il yang akan membikin ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan umat. Mereka hanya mau berbi-cara tentang ilmu fadhail (tentang keuta-maan-keutamaan ibadah).

Sebagian lagi mencela dakwah tauhid ini dengan alasan menyeru umat kepada tauhid hanya buang-buang waktu saja, tidak mema-hami fenomena yang sedang terjadi. Bukan-kah musuh-musuh Islam kini telah siap untuk menerkam umat dari segenap penjuru dan dari segala bidang?

Semua alasan yang diusung untuk me-nolak dakwah tauhid menjadi cukup bagi kita untuk menilai dakwah model apa yang mere-ka kehendaki. Semua tidak bergeser dari ke-pentingan politik dan duniawi semata.

Mengapa mereka menjadi heran tatkala didahulukannya permasalahan tauhid dalam dakwah salaf? Bukankah hak Allah ta’ala un-tuk di-Esa-kan dalam segala peribadatan kepada-Nya adalah lebih utama dan lebih berhak untuk didahulukan?! Perhatikan wasiat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’ad bin Jabbal tatkala beliau mengutusnya ke negeri Yaman:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. (رواه البخاري ومسلم

Wahai Mu’adz, sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Jika engkau telah datang kepada me-reka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disem-bah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (HR. Bukhari Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka ialah عِبَادَةِ الله “beribadah kepada Allah (semata)”. Dan dalam riwayat lainnya disebutkan: أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ “agar mengesakan Allah”

Mengapa para juru dakwah sekarang justru meremehkan hak Allah ini?! Bukankah hak Allah lebih utama untuk didahulukan? Bukankah dakwah tauhid merupakan kunci dakwahnya para rasul sebagaimana yang te-lah Allah abadikan dalam banyak ayat-Nya?.

Kita bisa perhatikan bagaimana nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya, nabi Hud kepada kaum ‘Ad, nabi Shalih kepada kaum Tsamud, demikian pula nabi Syuaib berdak-wah kepada kaum Madyan. Mereka –seluruh-nya- mendakwahkan tauhid dengan menga-takan kepada kaumnya:

يَا قَوْمِ اعْبُدُوا للهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِهِ

Wahai kaumku, beribadahlah (hanya) ke-pada Allah yang mana tidak ada satu dzat pun yang berhak diibadahi kecuali Dia.

Demikian halnya pada diri Nabi Ibrahin –kekasih Allah, bapaknya para nabi dan seka-ligus sebagai imam bagi orang-orang yang bertauhid-. Beliau mengkhawatirkan kesyi-rikan akan menimpa pada dirinya dan ketu-runannya, sehingga beliau beliau berdoa ke-pada Allah dengan menyatakan:

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ رَبِّ إِنَّهُنَّ أَ ضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَاسِ… ابراهيم: 35-36

Wahai rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Me-kah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Wahai rabb-ku, sesungguh-nya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia (Ibrahim: 35-36)

Jika nabi Ibrahim mengkhawatirkan di-rinya dan keturunannya dari tertimpa ke-musyrikan, maka siapakah orangnya yang bisa menjamin dirinya terlepas dari bahaya kesyirikan? Dan siapakah orangnya yang me-rasa lebih baik wasiatnya daripada wasiatnya para nabi yang telah disampaikan kepada kaumnya?

Demikianlah mereka –para nabi- dalam berdakwah! Meskipun mereka menghadapi budaya yang beraneka ragam dan problem yang bermacam-macam, akan tetapi dakwah mereka yang utama adalah dakwah kepada tauhid.

Walaupun problem yang mereka hadapi adalah masalah perekonomian –sebagaimana yang terjadi pada kaum Madyan- ataupun problemnya adalah masalah politik, sosial, akhlaq dan lain-lain. Mereka tetap memulai-nya dengan mendakwahkan tauhid kepada kaumnya.

Yang demikian itu karena perbaikan tauhid dalam masalah agama ini adalah seperti memperbaiki jantung pada badan manu-sia. Tidak akan bermanfaat mengobati anggo-ta badan, jika jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula tidak akan diterima amalan ibadah apapun jika tauhid telah rusak dengan perbuatan syirik-syirik besar. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ الزمر: 65

Jika kamu mempersekutukan (rabb-mu), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (az-Zumar: 65)

Dalam sebuah hadits riwayat Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu , Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ. (رواه البخاري ومسلم

Ketahuilah bahwasanya dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika baik segumpal daging itu, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan jika rusak segumpal daging segumpal da-ging tersebut, maka rusak pula seluruh tu-buhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (HR. Bukhari Muslim)

Hadits ini merupakan hujjah, bahwa perba-ikan hati dalam arti perbaikan aqidah dan keyakinan memiliki prioritas utama.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang ingin meninggikan ba-ngunan, maka hendaklah ia memantapkan fondasinya, menguatkan dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuat-nya fondasi dan kemantapannya. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 13)

Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang bijaksana akan lebih memperha-tikan perbaikan fondasinya. Sedangkan orang-orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi fon-dasinya, sehingga tidak berapa lama lagi ba-ngunan itu akan runtuh”. (Lihat Sittu Durari, karya Abdul Malik Rhamadhani, hal 14)

Allah Azza Wa Jalla berfirman:

أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِى نَارِ جَهَنَّمَ… التوبة: 109

Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan-nya itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? (at-Taubah: 109)

Ayat ini berkenaan dengan perbuatan kaum munafiqin ketika membangun masjid dalam keadaan hati mereka tidak memiliki aqidah dan keimanan yang benar. Apa yang dikerja-kannya merupakan pekerjaan sia-sia. Adapun yang membangun di atas fondasi tauhid dan ketaqwaan, maka bangunannya akan kokoh.

Tauhid bagaikan akar pada sebuah pohon. Jika akar itu menghunjam ke bumi de-ngan mantap, maka pohon itu akan tegak berdiri menjulang ke langit.

Berkata Ibnul Qayyim: “Tahun adalah ibarat sebuah pohon, bulan adalah cabang-cabangnya, hari adalah ranting-rantingnya, saat demi saat adalah daun-daunya dan nafas merupakan buahnya. Barangsiapa yang me-makai waktunya dalam ketaatan kepada Allah, maka buahnya manis. Dan barangsiapa yang menggunakannya dalam kemaksiatan, maka buahnya pahit dan hasil buahnya kelak akan dipanen pada hari kiamat. Manusia akan mendapatkan manisnya hasil amalannya di dunia atau pahitnya buah yang dia rasakan.

Tauhid adalah pohon yang tumbuh dalam hati dan cabangnya adalah amalan, ada pun buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Sedangkan kesyirikan, kekufuran dan riya’ juga merupakan pohon yang tumbuh dalam hati, buahnya di dunia berupa ketakutan, gundah gulana, sempit dada dan kegelapan hati. Sedangkan buahnya di akhirat berupa Zaqum yang tidak mengenyangkan dan tidak pula menghilangkan rasa haus. Buah ini bah-kan akan merobek tenggorokan dan meng-hancurkan seluruh tubuhnya, dan buahnya adlah kekekalan adzab di akhirat.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى السَّمَآءِ…. وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ اْلأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ. ابراهيم: 24-26

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya men-julang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin rabb-nya………. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (kalimat kufur, syirik) adalah seperti pohon yang buruk,yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (Ibrahim: 24-25). Wallahu a’lam

Ustadz Muhammad Umar Assewed